Wednesday, October 31, 2007

ETIMOLOGI KEPEMIMPINAN


Kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Kepemimpinan mempunyai kaitan yang erat dengan motivasi. Hal tersebut dapat dilihat dari keberhasilan seorang pemimpin dalam menggerakkan orang lain dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan sangat tergantung kepada kewibawaan, dan juga pimpinan itu dalam menciptakan motivasi dalam diri setiap orang bawahan, kolega, maupun atasan pimpinan itu sendiri.

Gaya kepemimpinan
Otokratis. Kepemimpinan seperti ini menggunakan metode pendekatan kekuasaan dalam mencapai keputusan dan pengembangan strukturnya. Jadi kekuasaanlah yang sangat dominan diterapkan.
Demokrasi. Gaya ini ditandai adanya suatu struktur yang pengembangannya menggunakan pendekatan pengambilan keputusan yang kooperatif. Di bawah kepemimpinan demokratis cenderung bermoral tinggi dapat bekerjasama, mengutamakan mutu kerja dan dapat mengarahkan diri sendiri.
Gaya kepemimpinan kendali bebas. Pemimpin memberikan kekuasan penuh terhadap bawahan, struktur organisasi bersifat longgar dan pemimpin bersifat pasif.

Artikel mengenai manajemen ini adalah suatu tulisan rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia mengembangkannya.
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Kepemimpinan"
Kategori: Manajemen Rintisan bertopik manajemen

Wednesday, June 13, 2007

KEPEMIMPINAN KRISTEN BAHAN (SOM) GBI MAWAR SARON

Kepemimpinan Suatu Tinjauan dari Sudut Pandang Perjanjian Baru

OlehSamuel B. Hakh

Disajikan Oleh : Pdt. Petrus A. M.Th. (c)

ABSTRAKSI: Penulis menguraikan tentang kepemimpinan dalam Perjanjian Baru, mulai dari uraian atas makna istilah ‘pemimpin’ dalam Perjanjian Baru sampai pada tipe dan gaya kepemimpinan yang ada dalam Perjanjian Baru. Beberapa tipe yang dikemukakan, antara lain tipe pemimpin yang otokratis, idiologis, kharismatis, eksemplaris, pemimpin sebagai hamba yang melayani, dan pemimpin sebagai gembala. Sedangkan beberapa gaya kepemimpinan yang diuraikan, ialah kepemim­pinan yang memampukan, kepemimpinan hamba, kepe­mimpinan gembala, dan kepemimpinan teladan.

KATA KUNCI: Pemimpin, Perjanjian Baru, Yesus, Hodegos, Hode­gein, Otokratis, Idiologis, Kharismatis, Eksemplaris, Hamba, Gembala, Teladan, Kuasa, Wibawa.
Para Pemimpin dalam Perjanjian Baru.
A. Pemakaian Istilah ‘Pemimpin’ dalam Perjanjian Baru
Kata ‘pemimpin’ dalam bahasa Yunani diterjemahkan dari kata benda: hodegos (= pemimpin, penuntun, pembimbing). Dalam bentuk kata kerja dipakai kata: hodegein (memimpin, menuntun, membim­bing). Dalam Perjanjian Baru (selanjutnya PB), kata hodegos dan hode­gein dipakai secara bervariasi. Pada satu pihak kedua kata itu dipakai dalam pengertian yang negatif. Menurut Injil-injil, beberapa kali Yesus memakai kata hodegos dan hodegein untuk menyapa orang Farisi dan para ahli Taurat yang dicap sebagai hodegoi tufloi (pemimpin-pemim­pin buta, Mat. 23:16,24), yang memimpin orang buta (hodegein tuflon). Yesus menegaskan, jika orang buta menuntun orang buta, pasti kedu­anya jatuh ke dalam lubang (Mat. 15:14, bnd. Luk. 6:39). Paulus juga memakai istilah itu untuk menyapa orang-orang Yahudi di Roma sebagai ‘penuntun orang-orang buta’ (hodegon tuflon, Rm 2:19). Kata yang sama dikenakan kepada Yudas sebagai pemimpin (hodegos) yang memimpin orang-orang yang menangkap Yesus (Kis. Ras. 1:16).
Namun di pihak lain, kedua kata itu juga dipakai dalam arti yang positif. Penulis Injil Yohanes menyatakan bahwa apabila Roh Kebenaran itu datang, Ia memimpin (hodegesei) kamu ke dalam seluruh kebenaran, Yoh. 16:13). Juga dalam kitab Wahyu, istilah itu dikenakan kepada Anak Domba yang di tengah-tengah takhta itu …akan menuntun (hodegesei) mereka (orang-orang kudus) ke mata air kehidupan. Kata yang sama dipakai oleh Sida-sida dari Etiophia ketika ia menjawab pertanyaan Felipus, “Bagaimanakah aku dapat mengerti kalau tidak ada yang membimbing (hodegesei) aku?” (Kis. 8:31).
Dari pemakaiannya itu maka nyata bahwa kata kerja: memimpin, menuntun, membimbing, memiliki beberapa arti, antara lain: menunjukkan jalan terutama berjalan di depan, menuntun, mem­bimbing, mengambil langkah awal, mempengaruhi orang dengan pan­dangan dan tindakan, memprakasai, bertindak lebih dahulu, memelo­pori, mengarahkan pikiran atau mendapat, menggerakkan orang lain de­ngan pengaruhnya, dll.1
Dengan menjadi pemimpin, seseorang memperoleh wibawa dan kedudukan untuk melaksanakan tugas memimpin. Walau demikian, inti suatu kepemimpinan bukan terletak pada kedudukan dan wibawa, mela­inkan pada fungsi atau tugasnya untuk mengabdi. Dalam upaya untuk mencapai cita-cita bersama maka sang pemimpin berusaha mem­pengaruhi dan memampukan kelompoknya untuk membangun suatu mekanisme, yang melaluinya tujuan bersama itu bisa tercapai. Dalam mekanisme itu ada pembagian tugas dan tanggung jawab sesuai ke­mampuan atau karunia masing-masing anggota. Tanggung jawab itu harus dikerjakan sedemikian rupa sehingga mencapai hasil yang maksi­mal.
B. Mengenal para Pemimpin dalam Perjanjian Baru.
Alkitab, termasuk PB merupakan bahan yang di dalamnya Allah berfirman kepada umat-Nya. Namun bila kita membacanya dari kacamata kepemimpinan, maka nyata bahwa bahan-bahan itu menam­pilkan juga berbagai jenis pemimpin pada masa penulisannya.
1 A.S. Hornby, Oxford Advanced Leaner’s Dictionary, (Oxford: University Press, 1989), hal. 708; A.M. Mangunhardjana, Kepemimpinan, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hal. 11.
1. Pemimpin Sekuler.
Pemimpin sekuler, yakni mereka yang secara resmi dipilih atau ditunjuk untuk memangku suatu jabatan tertentu dalam pemerintahan. Mereka adalah para kaisar yang memerintah di Roma, prokurator (gu­bernur) yang memerintah di Pelestina dan para raja bawahan yang me­merintah wilayah-wilayah tertentu di Pale stina pada masa Yesus dan para rasul.
2. Para pemimpin di bidang keagamaan.
a. Para pemimpin Yahudi. Di kalangan masyarakat Yahudi, terdapat banyak pemimpin. Para pemimpin ini terutama terdiri dari imam kepala, ahli Taurat, dan Farisi. Merekalah yang banyak disebut­sebut oleh para penulis PB karena sering bersoal jawab dengan Yesus dan murid-murid-Nya, bahkan mereka inilah yang berusaha mempengaruhi rakyat untuk membunuh Yesus. Di kemudian hari kelompok pemimpin ini juga yang menjadi penghambat bagi upaya pekabaran Injil oleh para rasul terutama pekabaran Injil oleh Paulus.
b. Pemimpin Komunitas Yesus. Komunitas Yesus adalah satu komunitas grass root. Mereka terdiri dari para nelayan, petani kecil, pegawai pemungut cukai, orang-orang berdosa dan perempuan­perempuan. Di kalangan komunitas ini, Yesus adalah pemimpin mereka. Ia memperjuangkan masa depan mereka tidak hanya secara sosial tetapi juga secara rohani. Ia rela menyerahkan diri-Nya demi masa depan dan keselamatan umat manusia.
c. Para Rasul, Nabi dan para pengikut Yesus. Setelah Yesus naik ke sorga, kelompok ini sangat berperan dalam mengabarkan Injil dan memimpin komunitas Yesus, yang dikemudian hari disebut komu­nitas Kristen. Mereka yang sangat menonjol adalah Petrus, Yako­bus, Paulus, dll.
d. Penilik, Penatua dan Diaken. Selama dan sesudah para rasul dan nabi, kelompok penatua dan diaken menjadi pemimpin dalam ko­munitas Kristen. Mereka dipilih oleh jemaat dengan memenuhi sejumlah syarat tertentu (1 Tim. 3:1-13). Penilik (episkopos, Fil. 1:1), juga penatua bertugas untuk melakukan penilikan terhadap kehidupan jemaat. Jika ada anggota jemaat yang kehidupannya menyimpang dari iman Kristen, maka mereka dinasihati untuk kembali kepada ajaran yang benar. Sedangkan tugas para diaken,
terutama melayani meja atau melayani diakonia bagi anggota jemaat.
e. Guru, Pen ginjil, dll. Di kalangan jemaat perdana, guru dan penginjil memiliki juga peranan dalam mengajar dan memberitakan Injil. Walau mereka kurang menonjol tetapi dihormati sebagai pemimpin dalam jemaat (Ef. 4:11).
3. Yesus adalah Kepala.
Dalam surat Efesus, penulis menegaskan bahwa Kristus adalah kepala atas tubuh, yaitu gereja (Ef.2:22; 4:15; Kol. 1:18). Karena Ia telah diangkat “jauh lebih tinggi dari segala pemerintah dan penguasa dan kekuasaan dan kerajaan dan tiap-tiap nama yang dapat disebut, bukan hanya di dunia ini saja melainkan juga di dunia yang akan datang. Dan segala sesuatu telah diletakkan-Nya di bawah kaki Kristus dan Dia telah diberikan-Nya kepada jemaat sebagai kepala dari segala yang ada” (Ef. 1:21,22). Berdasarkan pernyataan ini maka jelas bahwa: a), Yesus adalah Tuhan yang hidup, b), Ia memiliki kuasa yang mutlak, c), Ia adalah pemberian Allah bagi kita, sebagai kepala atas segala sesuatu. Maka dalam upaya kita memahami kepemimpinan dalam gereja, kita harus menyadari bahwa di dalam gereja kita berhadapan dengan Kristus yang hidup, yang bertindak dan memimpin gereja-Nya pada masa kini maupun masa yang akan datang. Manusia berperan dalam gereja sebagai pemimpin, tetapi ia tidak boleh merampas hak prerogatif Kristus. Hanya Kristus sendirilah kepala atas gereja sebagai tubuh-Nya (Ef. 1:23; 4:15). Gereja yang dimaksudkan di sini bukan saja berbentuk suatu lembaga, tetapi juga suatu organisme. Dan satu organisme yang hidup hanya memiliki satu kepala. Fungsi kepala itu tidak bisa didelegasikan kepada organ-organ lain. Semua anggota dalam satu organisme terikat kepada hanya satu kepala. Dan di dalam satu organisme, setiap bagian berada dalam hubungan yang kuat dengan kepala sehingga kepala mengirimkan sinyal atau perintah secara langsung kepada setiap bagian organ. Dalam perkataan lain, kepala berada dalam suatu sentuhan yang intim dengan semua anggotanya.2 Dalam pengertian lain, pemimpin menurut PB bukanlah pertama-tama soal kedudukan melainkan suatu relasi. Kekuasaan dengan sejumlah hak untuk melakukan kontrol terhadap orang yang dipimpin tidak
2 Lawrence O. Richards, Clyde Hoeldtke, A Theology of Church Leadership, (Grand Rapids Michigan: Zondevan Publishing House, 1980), hal. 17.
ditekankan. Fungsi Kristus sebagai kepala adalah sebagai sumber kehidupan gereja. Sebagai kepala Ia mendukung seluruh tubuh dan memberikan semua yang kita (gereja) butuhkan untuk bertumbuh.3
Tipe-tipe Pemimpin menurut Perjanjian Baru.
1. Pemimpin yang otokratis. Tipe pemimpin ini memegang kuasa secara mutlak, bersikap sebagai penguasa atas anggota kelompok yang dipimpin. Ia memberikan perintah, aturan dan larangan dan menuntut yang diperintah untuk taat secara mutlak. Anggota kelompok yang dipimpin akan menyambut perintah dan aturan yang diberikan dengan semangat jika hal itu mengutungkan tetapi jika tidak maka mereka akan melakukannya dengan setengah hati atau bahkan menolak. Maka tidak heran kalau pemimpin tipe ini menjalankan pemerintahannya dengan tangan besi. Maksudnya supaya semua keinginannya bisa tercapai dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Dalam Perjanjian Baru, tipe kepemimpinan seperti ini kita jumpai pada para Herodes yang memerintah di Palestina (lih. Mat. 2: 16-18, 14:1-12). Karena tipe kepemimpinan seperti ini maka Yesus tidak segan-segan mencap Herodes sebagai “si serigala” (Luk. 13:31,32).
2. Pemimpin idiologis. Pemimpin tipe ini mungkin tidak memiliki kepribadian yang mengesankan dan cara kerja yang sistematis. Tetapi ia memiliki idiologi yang mampu menggerakkan kelom­poknya sehingga selalu berpegang teguh kepada idiologi yang dicetuskannya. Para ahli Taurat dan orang Farisi dapat dimasukkan ke dalam tipe pemimpin idiologis ini. Mereka dengan ajarannya mampu mempengaruhi orang Yahudi sehingga mereka berpegang teguh kepada ajaran mereka. Mungkin, tidak berlebihan kalau kita mengatakan bahwa Yesus dan para rasul termasuk dalam kelompok ini juga karena model ajaran yang mereka kembangkan.
3. Pemimpin Kharismatis. Pemimpin tipe ini mampu menggerakkan orang di sekitarnya dengan kharisma yang ia miliki. Penampilannya akan selalu mempesona dan memukau para pengikut maupun orang lain yang ada di sekitarnya. Dengan demikian ia memiliki daya tarik tersendiri. Dalam PB kita membaca bahwa Yesus dapat dikatakan
3 Ibid., hal. 21.
sebagai seorang pemimpin kharismatik. Karena Ia memiliki kharisma yang menjadi daya tarik para pengikut-Nya (Mrk. 2:12; Mat. 14:33; 7:28,29 dll.). Murid-muridpun diberikan kharisma untuk melakukan mujizat yang mencengangkan (Mrk. 6:13, Kis. 3: 1-seterusnya).4 Para penatua dan diaken dapat dimasukkan ke dalam tipe ini karena karunia yang Tuhan berikan kepada mereka untuk melayani.
4. Pemimpin Eksemplaris. Pemimpin tipe ini mungkin tidak memiliki gagasan yang tinggi, tetapi memiliki daya tarik kepribadian yang kuat, yang mampu menggerakkan kelompoknya untuk menyimak nilai atau makna dari kepribadiannya. Rasul Paulus dalam suratnya kepada Timotius, sebagai pemimpin jemaat, meminta agar Timotius memelihara sikap dan kepribadiannya agar ia menjadi teladan bagi jemaatnya sehingga walau ia muda, ia tidak diremehkan (1 Tim. 4:12). Hal yang sama ia juga kepada Titus (Tit. 2:7,8) Permintaan Paulus ini dilandasi oleh keyakinan bahwa kebenaran yang terdalam dari kepemimpinan seorang pemimpin tidak selalu terletak pada ucapan-ucapannya yang verbalistis, melainkan pada sikap dan tindakannya. Karena itu, seorang pemimpin harus bisa mengatakan, “Jadilah pengikutku sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus” (1 Kor. 11:1). Paulus juga, dalam suratnya kepada jemaat di Tesalonika, meminta mereka untuk meneladani dirinya dalam hal bekerja. Walaupun ia adalah seorang pekabar Injil, tetapi ia juga melakukan pekerjaannya sebagai seorang pembuat kemah untuk menunjang kehidupannya (2 Tes. 3:8-9).5 Paulus tahu bahwa salah satu kegagalan seorang pemimpin adalah karena terlalu banyak berkata-kata tetapi tidak mampu menjadi contoh atau teladan bagi jemaatnya.
5. Pemimpin sebagai hamba yang melayani. Pemimpin tipe ini memi­liki komitmen yang kuat untuk melayani sesama. Kedudukan yang diberikan kepadanya dipahami sebagai sarana yang melaluinya ia melayani kepentingan orang banyak. Bagi maksud itu, ia rela men‑
4 Untuk penjelasan yang lebih mendetail, baca: Ayub Ranoh, Kepemimpinan Kharismatis, Tinjauan Teologis Etis atas Kepemimpinan Kharismatis Sukarno (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), hal. 149-168.
5 James E. Means, Leadership in Christian Ministry, (Grand Rapids Michigan: Beker Book House, 1989), hal. 49.
jadi abdi atau pelayan bagi kelompoknya. Pemimpin tipe ini ditun­tut oleh Yesus dari murid-murid-Nya (Bnd. Mrk. 10:45; Mat. 20:26-28). Dalam rangka menentang para guru palsu, yang suka memamerkan diri, Yesus mengatakan, “Janganlah kamu disebut rabi karena hanya ada satu Rabimu dan semua adalah saudara … Ja­ngan pula kamu disebut pemimpin karena hanya satu pemimpinmu, yaitu Mesias. Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu” (Mat. 23: 8-12). Lalu ketika Yesus sendirian dengan murid-murid-Nya, maka dalam suatu suasana keintiman, Ia mengambil sehelai kain lenan dan menuangkan air dalam basin lalu berlutut dan membasuh kaki murid-murid-Nya. Ketika Ia selesai membasuh kaki murid-murid-Nya Ia menasihati mereka bahwa kalau Ia adalah Guru dan Tuhan membasuh kaki mereka, maka mereka wajib saling membasuh kaki sesama sendiri (bnd. Yoh. 13: 12-17).6
Dalam surat kepada jemaat di Korintus, Paulus mengaitkan tugas se­orang hamba dengan tugas sebagai seorang pelayan (1 Kor. 4:1,2). Sa­lah satu tugas yang penting adalah memelihara harta yang indah, yang telah dipercayakan oleh Roh (2 Tim. 1:14). Tugas lain adalah menjaga atau melakukan penilikan terhadap kehidupan beriman jemaat (Ibr. 13:17) dengan maksud memimpin mereka kepada kesempurnaan di da­lam Kristus ( Kol. 1:28). Tugas penilikan yang dimaksudkan di sini bu­kan memerintah jemaat secara otokratik, atau memakai kekuasaan yang mutlak, melainkan laksana “seorang ibu mengasuh dan merawati a - naknya” ( 1 Tes. 2:7). Sebab kepemimpinan gereja bukan suatu kepe­mimpinan yang show force, melainkan suatu kepemimpinan yang merangkul dan mengayomi. Memang seorang pemimpin dituntut untuk tegas dalam bertindak, tetapi tidak berarti ia harus keras dan otoriter. Ia harus mampu mengendalikan dirinya sebagai salah satu buah Roh Kudus (Gal. 5:22).
6. Pemimpin sebagai gembala. Metafor tentang pemimpin sebagai gem­bala (poimen) disampaikan oleh Yesus sendiri dengan mengatakan “Akulah gembala yang baik, Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya” ( Yoh. 10:11). Fungsi kepemim­pinan ini dihubungkan secara erat dengan tugas mengawasi. Istilah
6 Ibid., hal. 105,106.
gembala dipakai juga dalam Ef. 4:11, dan sering diterjemahkan se­bagai “pastor”. Dalam surat 1 Ptr. 5:2, penulis meminta kepada para pemimpin jemaat untuk menggembalakan kawanan domba Allah yang ada pada tangan mereka. Dan dalam Kis. 20:28, Paulus me­minta kepada para penatua di Efesus untuk menjaga seluruh ka­wanan, karena mereka ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperolehnya dengan darah Anak-Nya sendiri. Sayang, bahwa sapaan “gembala” ini hanya dikenakan kepada para pendeta, padahal peranan penggembalaan dikenakan kepada semua pemimpin dalam gereja. Dalam hubungan ini tugas seorang pemimpin sebagai gembala adalah: pertama, menjaga kawanan domba Allah. Soal yang timbul adalah ada juga pemimpin yang lebih menjaga dirinya sendiri dari kawanan domba Allah. Ketika datang musuh maka ia melarikan diri ( bnd. Yoh. 10:13). Kedua, seorang gembala memiliki tanggung jawab untuk memberi makan kepada domba-dombanya dan melindungi mereka. Pemberian makan dan perlindungan yang dimaksud di sini antara lain, mengajar dan memberitakan firman kepada mereka (1 Tim. 4:13; 3:2). Ketiga, seorang gembala sebagai pemimpin, harus memberikan bimbingan kepada mereka yang dipimpin. Sebab, tugas membimbing berarti: memberikan penerangan, motivasi, anjuran, nasihat, yang sedikit banyak memiliki hubungan dengan pribadi pemimpin.7
Memahami Gaya-gaya Kepemimpinan dalam Perjanjian Baru.
Fokus perhatian kita pada bagian ini adalah gaya kepemimpinan sang pemimpin dalam upaya mencapai suatu tujuan. Berbicara tentang gaya kepemimpinan maka setiap pemimpin, entah dalam masyarakat atau gereja, pasti memberlakukan suatu gaya dalam kepemimpinannya (otoriter, boss, hamba, dll). Gaya itu dapat berubah sesuai dengan tuntutan dari situasi konteks. Dalam PB kita juga menjumpai berbagai gaya kepemimpinan yang demikian, antara lain:
1. Kepemimpinan yang memampukan. Dalam gaya kepemimpinan ini sang pemimpin tidak berjalan sendirian. Ia membentuk kelompoknya dan sesudah itu ia dengan sadar dan terencana
7 James E. Means, Op. Cit., hal. 5 1-53.
berupaya memberdayakan mereka untuk melaksanakan fungsi dan tugas yang diberikan demi mencapai tujuan bersama. Upaya pemberdayaan itu dilakukan antara lain melalui pengembangan hubungan yang akrab atau kekeluargaan antara sang pemimpin dengan kelompok yang ia pimpin dan pendelegasian tugas tertentu kepada mereka. Dalam gaya kepemimpinan ini pemimpin dan yang dipimpin duduk bersama sebagai saudara atau orang tua dan anak. Sang pemimpin secara empatik mendengarkan ungkapan-ungkapan yang keluar dari hati nurani anggota kelompoknya (bnd. Yak. 1:19). Dengan bersikap demikian seorang pemimpin memahami keberada­an setiap anggota yang ia pimpin, dan ia mencari cara yang tepat mendewasakan setiap anggota kelompoknya.8 Sehingga anggota­anggota kelompok itu dimampukan untuk mencapai tujuan yang diharapkan bersama.
Selanjutnya melalui pengaruh-pengaruh etis, sang pemimpin me­motivasi dan memberdayakan orang yang dipimpin dalam melak­sanakan tugas kepemimpinan. Dalam hubungan ini PB mencerite­rakan kepada kita tentang gaya kepemimpinan Yesus yang memam­pukan bagi murid-murid-Nya. Ketika Yesus tampil untuk membe­ritakan Injil Kerajaan Allah, langkah awal yang Ia lakukan adalah membentuk tim kerja dengan memanggil sejumlah orang menjadi murid-Nya (Mrk. 1:16-20, par.). Ia berupaya mendewasakan dan memampukan mereka dengan cara membangun hubungan timbal balik yang akrab. Ada waktu di mana Yesus tampil sebagai guru yang mengajar mereka, dan ada waktu lain di mana mereka duduk dalam satu tim untuk saling mendengarkan dalam satu diskusi yang menarik. Pada waktu yang lain, Ia memberi kuasa dan mengutus mereka untuk melakukan misi yaitu memberitakan Injil kerajaan Allah (Mat.10:5-15; Luk. 10:1-12).
Paulus, juga mengembangkan gaya kepemimpianan yang sama. Ke­tika ia melakukan misi pekabaran Injil di dunia bukan Yahudi, ia membentuk satu tim kerja. Anggota timnya itu antara lain: Lukas, Timotius, Titus, dll. Ia juga berusaha membangun suatu relasi yang akrab dengan anggota timnya ini. Bahkan Timotius dan Titus dise­but sebagai anak rohaninya (1 Tim. 1:2, 18; 2 Tim. 1:2; Tit. 1:4). Pengembangan hubungan yang akrab ini memungkinkan anggota
8 Ibid., hal. 63,64.
kelompoknya saling mendengarkan dan dimampukan atau didewa­sakan untuk melaksanakan tugas mereka. Paulus pernah mengutus Timotius ke Tesalonika untuk menguatkan iman jemaat di sana (1 Tes. 3:2,3). Pengutusan yang dilakukan, baik oleh Yesus maupun Paulus merupakan suatu upaya pendidikan secara tidak langsung kepada para pengikutnya untuk semakin dewasa. Dengan cara demikian dikemudian hari mereka mampu melanjutkan kepemim­pinan dalam jemaat. Gaya kepemimpinan ini tentu berseberangan dengan gaya kepemimpinan otoriter. Sebab gaya kepemimpinan yang disebut terakhir ini sangat menekankan kekuasaan yang mut­lak pada satu tangan. Hubungan antara pemimpin dan orang yang dipimpin lebih banyak bersifat hubungan satu arah (top-down). Yang dipimpin hanya dituntut ketaatan yang mutlak tanpa boleh bertanya apalagi mengritik. Gaya kepemimpinan otoriter hampir tidak melibatkan mereka yang dipimpin dalam proses pemberdaya­an.
2. Kepemimpinan Hamba atau Pelayan. Gaya kepemimpinan hamba selalu menekankan kerendahan hati. Kedudukan sebagai pemimpin bukanlah “takhta” yang di atasnya sang pemimpin menjalankan ke­kuasaan dengan tangan besi, melainkan “sarana” yang melaluinya sesama dilayani. Dalam peristiwa pertengkaran murid-murid me­ngenai siapakah yang terbesar di antara mereka, Yesus mengajar­kan, “Jika seorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya” (Mrk. 9:35). Berdasarkan pengajaran ini, Yesus ingin mengubah konsep tentang gaya kepeminpinan murid-muridNya. Sebab kebe­saran yang sejati tidak diperoleh dengan berusaha untuk menonjol­kan diri satu sama lain, melainkan dengan sikap rendah hati dan tidak menonjolkan diri, melayani semua orang bahkan orang yang paling rendah sekalipun (Mrk. 9:36,37). Gaya kepemimpinan ham­ba ini ditekankan lagi ketika ibu Yakobus dengan berani meminta kepada Yesus agar anak-anaknya, yang seorang duduk di sebelah kanan dan yang seorang duduk disebelah kirinya (Mat. 20:2 1). Lalu Yesus mengatakan, “Kamu tahu bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas me­reka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barang siapa ingin men­jadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu…”
(Mat. 20:25-26). Yesus, dengan perkataan-Nya ini, mencela gaya kepemimpinan yang otoriter, dan yang mengutamakan kedudukan serta gelar kehormatan. Ia melarang murid-murid-Nya mengem­bangkan gaya kepemimpinan itu karena akan merusak hubungan persaudaraan di antara mereka. Yesus menegaskan bahwa “ ba­rangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (Mat. 23: 12).9 Selama per­jamuan paskah terakhir pada malam menjelang penyaliban-Nya, se­kali lagi murid-murid bertengkar tentang siapa yang terbesar di antara mereka. Yesus dengan sabar menasihati mereka agar tidak bertindak seperti pemerintah dunia yang mencari kedudukan dan kehormatan. Ia berkata: “yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi yang paling muda dan pemimpin sebagai pelayan” (Luk. 22:24-27). Yesus tidak hanya mengajarkan tentang kerendahan hati sebagai seorang hamba. Ia sendiri memberikan teladan itu. Ia meng­ambil sehelai kain lenan dan menuangkan air dalam basin lalu ber­lutut dan membasuh kaki murid-murid-Nya dan sesudah itu Ia ber­pesan kepada mereka untuk melakukannya satu kepada yang lain (Yoh. 13:4-17). Terhadap perselisihan yang timbul karena benturan antara dua pemimpin jemaat (Eoudia dan Sintikhe) di Filipi, Paulus menekankan tentang kerendahan hati di antara mereka, sama seperti Kristus yang telah merendahkan diri sebagai seorang hamba bahkan mati di kayu salib (Fil. 2:3-5, 5,8). Permintaan untuk memberlaku­kan gaya kepemimpinan hamba atau perendahan diri perlu diberi­kan perhatian yang serius. Karena kecenderungan manusia adalah kesombongan, pementingan diri sendiri. Akibatnya timbul perpe­cahan, perebutan kekuasaan, perasaan terluka, kecemburuan, kebencian, kecurigaan, dll., di dalam pelayanan gereja. Inilah bahaya yang sering timbul dalam gereja. Menghindari bahaya Ini, para penatua dinasihati agar memiliki hati seorang hamba (1 Ptr. 5:5; Kis. 20:19; 1 Tim. 3:6). Sebab hanya kepemimpinan dengan hati seorang hambalah yang akan menyatakan kehidupan Kristus kepada jemaat.10 Memang para penatua dan diaken diberikan otori­tas dalam melayani, tetapi otoritas itu harus digunakan dengan ka‑
9 Alexander Strauch, Manakah yang Akitabiah, Kepenatuaan atau Kependetaan, (Yagyakarta: Yayasan Andi, 1986), hal. 21-23.10 Alexander Strauch, Op. Cit., hal. 21-28.
sih, kerendahan hati, dan bersikap sebagai seorang hamba. Bukan memakai otoritas itu untuk kepentingan sendiri, mencari penghor­matan dan puji-pujian yang sia-sia, melainkan memakai otoritas itu untuk membangun tubuh Kristus, yaitu gereja. Sampai di sini kita melihat bahwa seorang yang memerintah selalu berada “di atas” orang yang diperintah, sedangkan seorang hamba selalu berada “di antara” yang dipimpin. Maka kita tidak dapat menjadi seorang pe­mimpin berhati hamba jika kita selalu menempatkan diri di atas orang yang kita pimpin sehingga menciptakan jurang yang dalam antara pemimpin dan yang dipimpin. Kalau pemerintah sebagai pe­mimpin selalu memberikan perintah, maka seorang hamba selalu melayani.11 Pemimpin gereja bukan pemerintah tetapi hamba yang melayani.
4. Kepemimpinan Gembala. Gaya kepemimpinan ini menekankan ke­pedulian atau pemeliharaan dan perlindungan sang gembala terha­dap yang digembalakan. Gaya kepemimpinan ini ditampilkan oleh Yesus sendiri dan diikuti oleh para rasul. Memang, apabila dilihat dari segi status maka seakan-akan sang gembala memiliki status le­bih tinggi dari “domba-domba” yang digembalakan. Tetapi bukan status ini yang hendak ditekankan di sini. Yang hendak ditekankan adalah kepedulian gembala terhadap kehidupan domba-domba yang dipercayakan kepadanya. Yesus sendiri memberikan contoh itu. Se­bagai gembala, Ia rela menyerahkan diri-Nya demi keselamatan domba-domba-Nya itu. Dalam hubungan ini kepemimpinan gemba­la menuntut pula pengorbanan. Dalam PB tugas penggembalaan adalah tugas para penatua (Kis. 20:28; 1 Ptr. 5:2). Dewasa ini tugas gembala sering dihubungkan hanya kepada pendeta. Bahkan para pendeta disapa secara khusus sebagai gembala, seakan-akan para penatua bukanlah gembala. Tetapi sesungguhnya pemahaman yang demikian tidak seluruhnya benar. Para penatua, menurut kesaksian PB sebagaimana kita kutip di atas, juga diberikan kewenangan menggembalakan kawanan domba Allah, sebab mereka juga adalah pemimpin jemaat. Mungkin ini salah satu sebab mengapa banyak warga jemaat menjadi warga, termasuk penatua, yang pasif dalam pelayanan gereja karena menganggap diri sebagai “domba” yang selalu mendapatkan penggembalaan dari pendeta. Karena itu,

11 Lawrence O. Richards, Clyde oeldtke, Op. Cit., hal. 106,107.
konsep pemikiran ini - hanya pendetalah yang gembala - perlu diu­bah jika kita menginginkan suatu partisipasi aktif dari seluruh war­ga gereja.
4. Kepemimpinan Teladan. Gaya kepemimpinan ini sangat menekankan keteladanan. Dalam hubungan ini perlu ditegaskan bahwa para pemimpin jemaat bukan penguasa atas orang yang di­pimpin. Oleh sebab itu, mereka dituntut untuk mempengaruhi jemaat dengan keteladanannya. Keteladanan dalam kepemimpinan dapat diumpamakan sebagai suatu khotbah yang hidup. Seorang pemimpin jemaat, walaupun khotbahnya memukau atau mence­ngangkan banyak orang, tetapi jika ia tidak mengimbangi khotbah dan nasihatnya itu dengan keteladanan maka khotbah dan nasihat­nasihatnya itu hanya dilihat sebelah mata. Oleh sebab itu, adalah keliru jika orang berpendapat bahwa ia hanya sebagai penyalur be­rita Injil, tanpa memberlakukan Injil itu dalam kehidupannya. Permintaan Yesus dan para rasul untuk menjadi teladan bagi jemaat membuktikan bahwa kepribadian dan tindakan seorang pemimpin harus menjadi teladan bagi jemaat.
Kepemimpinan, Kuasa, dan Wibawa
Dalam setiap kepemimpinan sudah tentu ada kuasa, wibawa dan pengaruh. Dengan kuasa dan wibawa yang ada, sang pemimpin mampu mempengaruhi anggota kelompok yang ia pimpin untuk berge­rak dalam suatu proses mencapai tujuan yang diharapkan.
Dalam kepemimpinan Kristen (baca: gereja), sumber kuasa atau wibawa adalah kebenaran firman Allah dan Roh Kudus yang hidup dalam diri sang pemimpin. Orang yang tidak hidup dari sumber wibawa atau kuasa ini mestinya tidak dipercayakan menjadi pemimpin dalam persekutuan umat Allah (gereja). Karena memang kuasa atau wibawa seorang pemimpin gereja tidak berpusat pada kelicikan dan kecerdasan sang pemimpin, tetapi oleh kuasa Firman Allah. Sang pemimpin mempengaruhi orang lain, bukan oleh kekuatannya secara pribadi atau oleh trik-triknya yang meyakinkan, melainkan oleh kehidupan yang disinari dan dimampukan oleh Roh Kudus. Memang kemampuan atau skill seseorang perlu dipertimbangkan tetapi hal itu bukan yang terutama. Sebab seorang pemimpin spiritual tidak hanya dituntut kecerdasannya tetapi lebih dari itu kedewasaan secara spiritual.
Jika kita menyimak para pemimpin dalam PB, maka harus kita akui bahwa kebanyakan para pemimpin dalam komunitas Kristen bukan orang terpelajar, kecuali Paulus. Para murid, umumnya terdiri dari nelayan dan petani kecil. Petrus sendiri, yang sering disebut sebagai o - rang pertama dari kedua belas murid, hanya sebagai seorang nelayan. Tetapi ia memperoleh kuasa dan wibawa rohani itu dari Roh Kudus dan Firman Allah, sehingga ia mampu menjadi seorang pemimpin di Yeru­salem.
Dengan kedewasaan spiritual yang bersumber dari firman dan Roh Kudus itu, sang pemimpin memiliki wibawa dan kepribadian yang kuat untuk mempengaruhi anggota kelompoknya. Pemimpin yang baik tidak hanya menyuruh anggota kelompoknya bekerja keras tetapi ia sendiri ikut bekerja keras. Pemimpin yang baik, tidak hanya menyuruh pengikutnya berkorban tetapi ia sendiri harus ikut berkorban. Dengan berbuat demikian sang pemimpin memberikan keteladanan dan memi­liki wibawa terhadap kelompoknya. Perbuatan yang demikian- seperti telah kita singgung - dilakukan baik oleh Yesus sendiri maupun para ra­sul - tercermin dari kesaksian PB.
Di kemudian hari – dalam sejarah gereja – kuasa atau wibawa ini semakin besar ditekankan sehingga menimbulkan hirarkhi dengan sejumlah jabatan struktural dalam gereja. Dalam hubungan ini pengaruh kepemimpinan negara semakin merasuk dalam kepemimpinan gereja. Di kalangan gereja-gereja Protestan hirarkhi kepemimpinan ini mungkin tidak terlalu besar tetapi perlu diwaspadai sehingga tidak menghambat pelayanan dan pertumbuhan gereja.

Kesimpulan

Berdasarkan paparan di atas, maka kini kita sampai pada bebe­rapa pokok kesimpulan:
1. Dalam PB terdapat beberapa tokoh pemimpin yang berperan dalam tugas kepemimpinan, baik dalam masyarakat Yahudi maupun di kalangan umat Kristen. Mereka menjadi pemimpin karena mereka dipilih, ditunjuk atau memiliki kharisma tertentu. Ada pemimpin sekuler dan pemimpin keagamaan. Masing-masing pemimpin me­miliki tujuan yang ingin dicapai untuk kelompoknya. Namun PB menegaskan bahwa semua pemimpin itu takluk kepada Kristus se‑
bagai Tuhan di atas segala tuan, dan Raja di atas segala raja. Ia ada­lah penguasa satu-satunya atas alam semesta.
2. Dalam upaya mencapai tujuan yang ditetapkan, setiap pemimpin memiliki tipe dan gaya tersendiri. Namun dalam penelitian kita, ada beberapa gaya kepemimpinan dalam PB yang patut kita pertim­bangkan lebih jauh, yakni kepemimpinan yang memampukan, ke­pemimpinan hamba, kepemimpinan gembala dan kepemimpinan teladan. Karena gaya-gaya kepemimpinan ini sangat dominan da­lam kesaksian PB.
3. Keberhasilan dalam kepemimpinan Kristen tidak bisa dilepaskan dari sumber kuasa dan wibawa, yakni Roh Kudus dan Firman Allah. Karena itu seorang pemimpin Kristen mestinya selalu ber­sandar pada sumber kuasa dan wibawa itu.
Daftar Bacaan
Hornby, A.S. Oxford Edvanced Learner’s Dictionary. Oxford: University Press, 1989.
Mangunhardjana, A.M. Kepemimpianan. Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Means, James E. Leadeship in Christian Ministry. Grand Rapids Michigan: Baker Book House, 1989.
Ranoh, Ayub. Kepemimpinan Kharismatis, Tinjauan Teologis Etis atas Kepemimpinan Kharismatis Sukarno. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.
Richard, Lawrence O., Clyde Hoeldtke. A Theology of Church Leadership. Grand Rapids Michigan: Zondervan Publishing House, 1980.
Strauch, Alexander. Manakah yang Alkitabiah, Kepenatuaan atau Kependetaan. Yogyakarta: Yayasan Andi, 1986.